Kritik untuk Sisdiknas
Ketuhanan Yang Maha Esa
Adalah sila pertama Pancasila yang katanya guru SD saya itu adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana saya berada. Kemudian setelah SMP saya dapat wejangan dari guru PPKn, katanya bahwa mereka yang menentang dan tidak mau menggunakan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia maka mereka termasuk golongan yang makar terhadap Negara yang sah dan berdaulat ini (Indonesia Raya Merdeka-Merdeka) hingga sekarang kadang-kadang saya masih berfikir apakah bener kata-kata guru SMP saya itu..
Namun, mari coba kita berfikir lebih dalam dan jauh terhadap system dan kebijakan pendidikan yang selama ini diterapkan di negri yang katanya Emha Ainun Nadjib adalah sempalan surga ini. Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai pembuka sila-sila Pancasila berikutnya, saya rasa ini boleh dimaknai jika Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pandangan hidup bangsa dan Pemerintah Indonersia, seharusnya jikalau ada bangsa INDONESIA YANG TIDAK ber-Tuhan atau ber-Tuhan lebih dari satu maka warga itu termasuk melanggar Pancasila dan pantas untuk dikenai adilnya hukum. Bagaimana tidak la wong Ketuhanan Yang Maha Esa bisa bermakna paham pemikiran ber-Tuhan yang Maha Satu, yang Maha Tunggal. Ah tapi itu hanya rasan-rasan saya terhadap ketidak adilan di negeri ini terhadap sekelompok penentang Pancasila yang secara terbuka, namun nyatanya keadilan tetap diperoleh mereka yang menentang dan melanggar Pancasila secara halus.
Eh itu belum seberapa looo… coba cermati keberlangsungan Pendidikan di Indonesia (yang mana pendidikan merupakan pilar penting untuk keberlangsungan hidup bangsa dan Negara, masih tetap tehadap sila Pertama Pancasila. Bener tidak, jika mau menuju Ketuhanan Yang Maha Esa (yang esensinya ini terpenting bagi Indonesia) ditempuh dengan mendidik generasi Indonesia dengan mengalokasikan waktu HANYA dua jam pelajaran untuk mata pelajaran agama dan HANYA dua jam pelajaran pula untuk mata pelajaran Pancasila? Coba bandingkan dengan Mapel Matematika, Biologi, Fisika Bhs Asing dll, apakah mau membentuk watak Ketuhanan Yang Maha Esa itu bisa dengan lebih banyak alokasi asah kecerdasan dan kepintaran dari pada Akhlak? Bukankah kebijakan ini juga membodohi, melangaar dan mengesampingkan Pancasila secara halus? Kalau begitu, apakah salah, jika saya bilang pembuat kebijakan itu juga Makar terhadap Indonesia Raya?
Ini belum terhadap sila-sila yang lain…. Mau membangun Bangsa dan Negara kog dengan kebohongan,,, mau jadi apa?
Sabtu, 10 Oktober 2009
Kampanye Untuk rakyat kecil
Hal Kecil untuk Perubahan Besar bagi Orang-orang Kecil
Manga, jika Bapak Prabowo Subianto koar-koar dimedia masa mengenai pembelaannya terhadap petani dan pedagang pasar, dan itupun beralasan karena memang Bapak Prabowo adalah ketua HKTI dan Asosiasi pedagang pasar yang sudah selayaknya dia perjuangkan kesejahteraannya, meskipun akhirnya petani dan pedagang pasar justru lebih simpati kepada Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih gagah Cashing-nya dalam pilpres 2009. Hal yang sama juga dialami oleh Ibu Megawati, yang mana Beliau lebih intens dalam mengkampanyekan ekonomi kerakyataannya, dan itupun juga sangat beralasan karena memang Ibu Mega sangat cinta dan sayang terhadap rakyat Indonesia yang sejak zaman Belanda selalu dibela Leluhurnya, meskipun rasa cinta dan sayang tersebut dibilang banyak pihak kurang tepat dalam pengungkapannya.
Silakan, jika Bapak Dr.Ir. Mohd Harisudin, M.Si, mengampanyekan kepada mahasiswanya tentang Strategi Berbisnis dan Etika Bisnis supaya didalam berbisnis juga mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan sehingga ada distribusi kesejahteraan untuk sesama penghuni bumi, meski beda budaya, adat dan agama, dan itu sah-sah saja karena memang Beliau adalah seorang Muslim yang menjadi dosen (sengaja saya tidak menulis Dosen Muslim, soal penafsiranya, mangga terserah pembaca) mata kuliah Manajemen Strategi dan Etika Bisnis di FP UNS.
Aku bukanlah simpatisan Ibu Mega atau Bapak Prabowo bahkan aku sering bersitegang dan berseberangan dengan pendukung mereka di grass root, namun jujur aku acungkan jempol atas itikad baik pembelaan mereka kepada masyarakat kecil (kalau masyarakat besar sih tidak usah dibela mereka sudah bisa membela dirinya sendiri bahkan sudah biasa juga menindas masyarakat kecil). Pun diluar itu semua, aku akan tetap intens membela masyarakat yang rata-rata mereka bernasib sama dengan leluhurku dengan sebatas apa yang aku bisa. Ya karena masyarakat kelas inilah yang sering diperlakukan tidak adil atas kebodohan dan kelemahan mereka.
Maka aku mengajak kepada segenap mahasiswa, pemuda dan semua masyarakat yang masih kental berdarah Indonesia, Berdarah Islam ataupun berdarah Jawa, mari kita berdayakan masyarakat kita yang rata-rata kelas bawah dengan :
1.Menghindari belanja di mall, Swalayan atau sejenisnya yang milik bangsa asing kecuali untuk produk-produk penting yang tidak bisa kita peroleh di warung orang kita.
2.Kita beri kesempatan kepada pedagang kecil untuk berkembang dengan membeli barang kebutuhan kepada mereka.
3.Kita berdayakan masyarakat dengan budaya ramah tamah saling percaya dan saling menghormati.
4.Kita galakan usaha yang sifatnya padat karya meskipun sebenarnya bisa dengan aplikasi teknologi mesin.
5.Jika kita petani, mari kita berdayakan petani kita untuk mengaplikasikan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan, kita bangkitkan lagi sistem lumbung padi untuk mecegah permainan tengkulak ketika paceklik tiba, diversifikasi jenis tanaman dan bahan makanan, pemenuhan kebutuhan makan keluarga dengan menanam beraneka ragam sayuran dan buah-buahan dipekarangan dengan system tanam langsung ditanah ataupun pot, kita berdayakan kolamisasi ikan untuk pemenuhan kebutuhan protein keluarga dll.
6.Kita berdayakan pemuda dengan menghidupkan lagi gerakan kepemudaan (Ansor, Karangtaruna, Club olahraga, Sinoman dll)
7.Kita siapkan generasi dengan menghidupkan lagi kegiatan pembelajaran mandiri seperti TPA, Les bimbingan belajar, Padepokan Silat, Sanggar tari, lukis dan kerajinan, Pesantren dll karena itulah salah satu media untuk mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah ada dalam masyarakat kita sejak ratusan tahun silam.
Itu semua hanyalah wacana jika kita tidak mau untuk mencoba memulai dengan berbuat, berbuat dan terus berbuat dengan istiqomah. Dan saya rasa ini bukanlah hal berat dan muluk-muluk, jikalau kita semua mau berbuat yang demikian meskipun dalam skala kecil, jika itu serempak saya rasa masalah-masalah besar dinegri ini akan terselesaikan dengan Izin Alloh. Sekali lagi mari kita mulai gerakan pemberdayaan masyarakat kita, sekarang.
Oleh Setyawan Dwi H
Mhs FP UNS
Manga, jika Bapak Prabowo Subianto koar-koar dimedia masa mengenai pembelaannya terhadap petani dan pedagang pasar, dan itupun beralasan karena memang Bapak Prabowo adalah ketua HKTI dan Asosiasi pedagang pasar yang sudah selayaknya dia perjuangkan kesejahteraannya, meskipun akhirnya petani dan pedagang pasar justru lebih simpati kepada Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih gagah Cashing-nya dalam pilpres 2009. Hal yang sama juga dialami oleh Ibu Megawati, yang mana Beliau lebih intens dalam mengkampanyekan ekonomi kerakyataannya, dan itupun juga sangat beralasan karena memang Ibu Mega sangat cinta dan sayang terhadap rakyat Indonesia yang sejak zaman Belanda selalu dibela Leluhurnya, meskipun rasa cinta dan sayang tersebut dibilang banyak pihak kurang tepat dalam pengungkapannya.
Silakan, jika Bapak Dr.Ir. Mohd Harisudin, M.Si, mengampanyekan kepada mahasiswanya tentang Strategi Berbisnis dan Etika Bisnis supaya didalam berbisnis juga mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan sehingga ada distribusi kesejahteraan untuk sesama penghuni bumi, meski beda budaya, adat dan agama, dan itu sah-sah saja karena memang Beliau adalah seorang Muslim yang menjadi dosen (sengaja saya tidak menulis Dosen Muslim, soal penafsiranya, mangga terserah pembaca) mata kuliah Manajemen Strategi dan Etika Bisnis di FP UNS.
Aku bukanlah simpatisan Ibu Mega atau Bapak Prabowo bahkan aku sering bersitegang dan berseberangan dengan pendukung mereka di grass root, namun jujur aku acungkan jempol atas itikad baik pembelaan mereka kepada masyarakat kecil (kalau masyarakat besar sih tidak usah dibela mereka sudah bisa membela dirinya sendiri bahkan sudah biasa juga menindas masyarakat kecil). Pun diluar itu semua, aku akan tetap intens membela masyarakat yang rata-rata mereka bernasib sama dengan leluhurku dengan sebatas apa yang aku bisa. Ya karena masyarakat kelas inilah yang sering diperlakukan tidak adil atas kebodohan dan kelemahan mereka.
Maka aku mengajak kepada segenap mahasiswa, pemuda dan semua masyarakat yang masih kental berdarah Indonesia, Berdarah Islam ataupun berdarah Jawa, mari kita berdayakan masyarakat kita yang rata-rata kelas bawah dengan :
1.Menghindari belanja di mall, Swalayan atau sejenisnya yang milik bangsa asing kecuali untuk produk-produk penting yang tidak bisa kita peroleh di warung orang kita.
2.Kita beri kesempatan kepada pedagang kecil untuk berkembang dengan membeli barang kebutuhan kepada mereka.
3.Kita berdayakan masyarakat dengan budaya ramah tamah saling percaya dan saling menghormati.
4.Kita galakan usaha yang sifatnya padat karya meskipun sebenarnya bisa dengan aplikasi teknologi mesin.
5.Jika kita petani, mari kita berdayakan petani kita untuk mengaplikasikan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan, kita bangkitkan lagi sistem lumbung padi untuk mecegah permainan tengkulak ketika paceklik tiba, diversifikasi jenis tanaman dan bahan makanan, pemenuhan kebutuhan makan keluarga dengan menanam beraneka ragam sayuran dan buah-buahan dipekarangan dengan system tanam langsung ditanah ataupun pot, kita berdayakan kolamisasi ikan untuk pemenuhan kebutuhan protein keluarga dll.
6.Kita berdayakan pemuda dengan menghidupkan lagi gerakan kepemudaan (Ansor, Karangtaruna, Club olahraga, Sinoman dll)
7.Kita siapkan generasi dengan menghidupkan lagi kegiatan pembelajaran mandiri seperti TPA, Les bimbingan belajar, Padepokan Silat, Sanggar tari, lukis dan kerajinan, Pesantren dll karena itulah salah satu media untuk mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah ada dalam masyarakat kita sejak ratusan tahun silam.
Itu semua hanyalah wacana jika kita tidak mau untuk mencoba memulai dengan berbuat, berbuat dan terus berbuat dengan istiqomah. Dan saya rasa ini bukanlah hal berat dan muluk-muluk, jikalau kita semua mau berbuat yang demikian meskipun dalam skala kecil, jika itu serempak saya rasa masalah-masalah besar dinegri ini akan terselesaikan dengan Izin Alloh. Sekali lagi mari kita mulai gerakan pemberdayaan masyarakat kita, sekarang.
Oleh Setyawan Dwi H
Mhs FP UNS
Kamis, 08 Oktober 2009
Generasiku
Diajari
Belajar
belajar mengajari
mengajari
belajar jadi contoh
berusaha jadi contoh
jadi contoh yang baik
1. Diajari
ini adalah tahap ketika aku dulu awal masuk di padepokan tak beratap, tak berplakat, tak berizin dan tak terkenal, yaitu di padepokan Silat Gasmi di dusun Ngandong, desa Kepyar, Kec. Purwantoro, Kab. Wonogiri yang kemudian berkembang dalam Naungan IPS NU Pagar Nusa. disana aku diajari ilmu silat, diajari olah raga, diajari berteman, diajari tawaduk, diajari mikir, diajari menghadapi urip rekasa, dan diajari banyak hal.
2. Belajar
ini tahapan yang juga aku rasakan ketika latihan telah berjalan, betapa tidak, jika aku ga mau belajar, tentunya akan terbuka peluang yang sangat besar bagiku untuk jadi losser, karena teman-teman latihanku rata-rata lebih tua dari aku. di sana aku belajar mengolah fisik, ketangkasan, kecermatan, keberanian, ketenangan, menahan sakit, menahan bosan, menahan malas, menahan kantuk (ini yang paling berat, karena latihan biasanya dimulai jam delapan dan berakir jam 1. kadang-kadang jika latihan ke ranting induk kami harus berjalan dulu dua jam menempuh jalan setapak berbukit sejauh kurang lebih 20 Km, demikian juga pulangnya) dan belajar banyak hal.
3. Belajar Mengajari
ini tahap berikutnya setelah aku menempuh latihan selama setahun. dalam latihan setahun itu praktis kami hanya dilatih tentang ilmu pergelutan dan nyaris tidak disinggung bab agama yang padahal ilmu agama ini menjadi titik berat setelah aku jadi pelatih. setelah dinyatakan lulus dalam latihan fisik aku diuji dan ajari ilmu meta fisik, setelah belajar ditingkatan ini beberapa waktu, aku dibebani untuk belajar mengajari adik-adik tingkat tentang ilmu silat yang ditahap awal telah aku pelajari.
Bersambung.....
Sejarah Shalawat Badar
Sejarah Shalawat Badar
Shalawat badar adalah lagu yang diutamakan (jika ga setuju dibilang wajib) oleh kalangan NU. Berisi pujian-pujian kpada Rasulullah Saw dan ahli Badar (para sahabat yang gugur Syahid dalam perang Badar). Berbentuk syair yang dinyanyikan dengan lagu yang khas.
Shalawat Badar digubah oleh Kyai Ali Mansur, salah satu cucu dari Kyai Muhammad Siddiq Jember tahun 1960. Kyai Ali saat itu menjabat Kepala kantor Departemen Agama Banyuwangi. Proses terciptanya Shalawat Badar ini penuh misteri dan teka-teki, konon di suatu malam, Kyai Ali tidak bisa tidur, hatinya terus merasa gelisah karena terus menrus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan umat Islam khususnya NU. Orang-oang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan brani membunuh Kyai-Kyai dipedesaan. Karena memang Kyailah pesaing PKI ditempat itu.
Sambil mernung Kyai Ali terus memainkan pnanya diatas kertas, menulis Syair-Syair dalam bahasa Arab. Beliau memang dikenal mahir dalam membuat Syair sejak masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Kegelisahan Kyai Ali berbaur dngan rasa heran, karena pada malam sebelumnya Beliau bermimpi didatangi para Habib berjubah putih-hijau. Semakin mngherankan lagi, karena pada saat yang sam,a isterinya mimpi bertemu Rasulullah Saw. Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan kepada Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab “itu Ahli Badar ya Akhi!”. Kedua mimpi aneh dan bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar.
Keheranan itu muncul lagi karena kesokan harinya banyak tetangga yang dating kerumah Kyai Ali sambil membawa beras, daging dll, layaknyaa mendatangi orang yang akan punya hajat mantu. Mereka bercerita bahwa pada pagi-pagi buta pintu rumah mreka didatangi orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa dirumah Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu, maka mereka membantu sesuai dengan kemampuannya.
“siapa orang berjubah putih itu?” pertanyaan it uterus mengiang didalam bnak Kyai Ali tanpa ada jawaban. Namun malam itu banyak orang bekerja didapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siap, dari mana dan untuk apa.
Menjekang matahari terbit, serombongan Habib berjubah putih-hijau dipimpin oleh Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang Jakarta, dating kerumah Kyai Ali Mansur. “Alhamdulillah….,” ucap Kyai Ali ketika melihat rombongan yang dating adalah para Habib yang sangat dihormati keluarganya.
Stelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi perpolitikan national yang semakin tidak mnguntungkan, Habib Ali menanyakan topic lain yang tidak diduga oleh Kyai Ali: “Ya Akhi..! mana syiir yang ente buat kemarin? Tolong Ente bacakan dan lagukan didepan kami ini!”. Tentu saja Kyai Ali terkejut, sbab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi, mungkin itulah karamah yang diberikan Allah kepadanya. Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah prkara yang aneh dan perlu dicurigai.
Segera saja Kyai Ali mengambil kertas berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka. Kebetulan Kyai Ali juga memiliki suara yang bagus. Di tengah alunan Shalawat Badar itu paraHabib mendengarkannya dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan air mata karena haru. Disinilah letak bedanya antara Ulama dahulu dan sekarang, jika Ulama sekelas Habib Ali Abdurrahman Al-Habsyi saja mendengarkan Shalawat Badar dengan khusyuk hingga menangis, justru orang Islam sekarang mendendangkan dan mendengar Shalawat Badar sambil cengengesan bahkan lebih parah lagi segolongan umat Islam menganggap Shalawat Badar dan shalawat-shalawat lain yang dilagukan adalah Bid’ah.
Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dikumandangkan Kyai Ali Mansur, Habib Ali sgera Bangkit. “Ya Akhi! Mari kita perangi Genjr-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar!” Serunya dengan nada mantab. Setelah Habib Ali memimpin Do’a, lalu rombongan itu memohon diri. Sejak itu terkenalah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan PKI.
Adopted from Antologi NU: 140-143
Shalawat badar adalah lagu yang diutamakan (jika ga setuju dibilang wajib) oleh kalangan NU. Berisi pujian-pujian kpada Rasulullah Saw dan ahli Badar (para sahabat yang gugur Syahid dalam perang Badar). Berbentuk syair yang dinyanyikan dengan lagu yang khas.
Shalawat Badar digubah oleh Kyai Ali Mansur, salah satu cucu dari Kyai Muhammad Siddiq Jember tahun 1960. Kyai Ali saat itu menjabat Kepala kantor Departemen Agama Banyuwangi. Proses terciptanya Shalawat Badar ini penuh misteri dan teka-teki, konon di suatu malam, Kyai Ali tidak bisa tidur, hatinya terus merasa gelisah karena terus menrus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan umat Islam khususnya NU. Orang-oang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan brani membunuh Kyai-Kyai dipedesaan. Karena memang Kyailah pesaing PKI ditempat itu.
Sambil mernung Kyai Ali terus memainkan pnanya diatas kertas, menulis Syair-Syair dalam bahasa Arab. Beliau memang dikenal mahir dalam membuat Syair sejak masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Kegelisahan Kyai Ali berbaur dngan rasa heran, karena pada malam sebelumnya Beliau bermimpi didatangi para Habib berjubah putih-hijau. Semakin mngherankan lagi, karena pada saat yang sam,a isterinya mimpi bertemu Rasulullah Saw. Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan kepada Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab “itu Ahli Badar ya Akhi!”. Kedua mimpi aneh dan bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar.
Keheranan itu muncul lagi karena kesokan harinya banyak tetangga yang dating kerumah Kyai Ali sambil membawa beras, daging dll, layaknyaa mendatangi orang yang akan punya hajat mantu. Mereka bercerita bahwa pada pagi-pagi buta pintu rumah mreka didatangi orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa dirumah Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu, maka mereka membantu sesuai dengan kemampuannya.
“siapa orang berjubah putih itu?” pertanyaan it uterus mengiang didalam bnak Kyai Ali tanpa ada jawaban. Namun malam itu banyak orang bekerja didapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siap, dari mana dan untuk apa.
Menjekang matahari terbit, serombongan Habib berjubah putih-hijau dipimpin oleh Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang Jakarta, dating kerumah Kyai Ali Mansur. “Alhamdulillah….,” ucap Kyai Ali ketika melihat rombongan yang dating adalah para Habib yang sangat dihormati keluarganya.
Stelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi perpolitikan national yang semakin tidak mnguntungkan, Habib Ali menanyakan topic lain yang tidak diduga oleh Kyai Ali: “Ya Akhi..! mana syiir yang ente buat kemarin? Tolong Ente bacakan dan lagukan didepan kami ini!”. Tentu saja Kyai Ali terkejut, sbab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi, mungkin itulah karamah yang diberikan Allah kepadanya. Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah prkara yang aneh dan perlu dicurigai.
Segera saja Kyai Ali mengambil kertas berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka. Kebetulan Kyai Ali juga memiliki suara yang bagus. Di tengah alunan Shalawat Badar itu paraHabib mendengarkannya dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan air mata karena haru. Disinilah letak bedanya antara Ulama dahulu dan sekarang, jika Ulama sekelas Habib Ali Abdurrahman Al-Habsyi saja mendengarkan Shalawat Badar dengan khusyuk hingga menangis, justru orang Islam sekarang mendendangkan dan mendengar Shalawat Badar sambil cengengesan bahkan lebih parah lagi segolongan umat Islam menganggap Shalawat Badar dan shalawat-shalawat lain yang dilagukan adalah Bid’ah.
Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dikumandangkan Kyai Ali Mansur, Habib Ali sgera Bangkit. “Ya Akhi! Mari kita perangi Genjr-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar!” Serunya dengan nada mantab. Setelah Habib Ali memimpin Do’a, lalu rombongan itu memohon diri. Sejak itu terkenalah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan PKI.
Adopted from Antologi NU: 140-143
Profil Singkat KH Hasyim Ay'ari
Sedikit Kisah Tentang Kyai Hasyim Asy’ari
Di tahun 1943, K.H. Hasyim Asy’ari menderita sakit keras. Di suatu siang Beliau memaksakan diri untuk mengambil air wudhu dan bersiap pergi ke Masjid. Salah seorang anggota keluarganya menyarankan agar beliau sholat dirumah saja, karena kondisi beliau yang kian memburuk. Di luar dugaan Kyai Hasyim menjawab ; ”Kamu tahu anak-anakku, api neraka lebih panas dari penyakit ini”. Sepulang dari masjid, Beliau beristirahat sambil meneruskan nasihatnya: ”aku menangis bukan karena penyakitku ini, dan bukan pula berpisah dengan keluargaku, namun aku merasa bahwa aku masih kurang berbuat kebajikan, padahal Tuhan telah banyak memerintahkan, sedangkan aku tidak memenuhinya. Betapa aku malu dan takut untuk bertmu Tuhan karena tidak punya bekal. Sungguh, itu semua yang membuat aku menangis”.
Beliau lahir pada hari selasa Kliwon 24 Dzulqa’dah 1287 H/14 februari 1871 M di desa Gedang, Jombang. Putra Kyai Asy’ari, seorang ulama asla Demak Jawa Tengah. Pada tahun 1893 M, Kyai Hasyim kembali lagi ke Makkah melanjutkan pndidikannya dan brmukim tujuh tahun lamanya. Beliau memiliki banyak guru, salah satunya adlah Syeikh Mahfudz. Syeikh Mahfudz dikenal sebagai seorang Isnad (mata rantai penghubung) pengajaran kitab Shahih bukhari, yang bersambung kepada Imam Bukhari, pngarangnya. Dari syeikh Mahfudz itulah Mohammad Hasyim (nama asli Kyai Hasyim Asy’ari) mendapatkan ijazah untuk mengajar Shahih Bukhari dan Muslim. Sampai akhirnya, Kyai Hasyim dikenal sebagai seorang ahli Hadits.
Dan anehnya saat ini, ajaran kyai Hasyim dituduh sebagai bid’ah oleh sekelompok aktifis dakwah yang kadar keilmuan tentang hadits bisa dibilang masih sangat jauh dibawah Kyai Hasyim.
Ketegasan Prinsip Beliau
Tahun 1942 M, Kyai Hasyim dan Kh. Mahfudz Siddiq ditahan bala tentara jepang gara-gara menentang pelaksanaan saikere (semacam upacara setiap jam tujuh pagi brbaris dilapangan dan membungkuk 90 derajat untuk menghormati kaisar jepang). Beliau ditahan selama empat bulan dengan penjara berpindah-pindah.
Pada masa perjuangan kemrdekaan, Beliau mengeluarkan dua fatwa yang sangat terkenal yaitu : Perang melawan belanda adalah Jihad dan dihukumi Fardhu ’ain, yang kedua adalah melarang kaum Muslimin Indonesia melakukan perjalanan Haji dengan kapal-kapal Belanda.
Kyai Hasyim wafat pada 7 Ramadan 1336 H/21 Juli 1947 ketika benteng prtahanan Hizbullah –Sabilillah di Singosari Malang, direbut tentara Belanda. Kyai Hasyim dimakamkan di belakang Pesantren Tebu Ireng.
Sumber : Antologi, Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU oleh H. Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, S.Sos)
Di tahun 1943, K.H. Hasyim Asy’ari menderita sakit keras. Di suatu siang Beliau memaksakan diri untuk mengambil air wudhu dan bersiap pergi ke Masjid. Salah seorang anggota keluarganya menyarankan agar beliau sholat dirumah saja, karena kondisi beliau yang kian memburuk. Di luar dugaan Kyai Hasyim menjawab ; ”Kamu tahu anak-anakku, api neraka lebih panas dari penyakit ini”. Sepulang dari masjid, Beliau beristirahat sambil meneruskan nasihatnya: ”aku menangis bukan karena penyakitku ini, dan bukan pula berpisah dengan keluargaku, namun aku merasa bahwa aku masih kurang berbuat kebajikan, padahal Tuhan telah banyak memerintahkan, sedangkan aku tidak memenuhinya. Betapa aku malu dan takut untuk bertmu Tuhan karena tidak punya bekal. Sungguh, itu semua yang membuat aku menangis”.
Beliau lahir pada hari selasa Kliwon 24 Dzulqa’dah 1287 H/14 februari 1871 M di desa Gedang, Jombang. Putra Kyai Asy’ari, seorang ulama asla Demak Jawa Tengah. Pada tahun 1893 M, Kyai Hasyim kembali lagi ke Makkah melanjutkan pndidikannya dan brmukim tujuh tahun lamanya. Beliau memiliki banyak guru, salah satunya adlah Syeikh Mahfudz. Syeikh Mahfudz dikenal sebagai seorang Isnad (mata rantai penghubung) pengajaran kitab Shahih bukhari, yang bersambung kepada Imam Bukhari, pngarangnya. Dari syeikh Mahfudz itulah Mohammad Hasyim (nama asli Kyai Hasyim Asy’ari) mendapatkan ijazah untuk mengajar Shahih Bukhari dan Muslim. Sampai akhirnya, Kyai Hasyim dikenal sebagai seorang ahli Hadits.
Dan anehnya saat ini, ajaran kyai Hasyim dituduh sebagai bid’ah oleh sekelompok aktifis dakwah yang kadar keilmuan tentang hadits bisa dibilang masih sangat jauh dibawah Kyai Hasyim.
Ketegasan Prinsip Beliau
Tahun 1942 M, Kyai Hasyim dan Kh. Mahfudz Siddiq ditahan bala tentara jepang gara-gara menentang pelaksanaan saikere (semacam upacara setiap jam tujuh pagi brbaris dilapangan dan membungkuk 90 derajat untuk menghormati kaisar jepang). Beliau ditahan selama empat bulan dengan penjara berpindah-pindah.
Pada masa perjuangan kemrdekaan, Beliau mengeluarkan dua fatwa yang sangat terkenal yaitu : Perang melawan belanda adalah Jihad dan dihukumi Fardhu ’ain, yang kedua adalah melarang kaum Muslimin Indonesia melakukan perjalanan Haji dengan kapal-kapal Belanda.
Kyai Hasyim wafat pada 7 Ramadan 1336 H/21 Juli 1947 ketika benteng prtahanan Hizbullah –Sabilillah di Singosari Malang, direbut tentara Belanda. Kyai Hasyim dimakamkan di belakang Pesantren Tebu Ireng.
Sumber : Antologi, Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU oleh H. Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, S.Sos)
Islam Nusantara
ISLAM NUSANTARA
Islam adalah sebuah peradaban besar yang pernah berjaya. Islam pernah menjadi bangsa adikuasa di Eropa, Afrika dan Asia. Tatkala Turki Utsmani sakit, samudera pasai menjadi penguasa bangsa melayu. Kehebatan Islam menjalar keseluruh nusantara lebih dari dua abad. Tiba-tiba Mataram, Banten, Tidore, Gowa dan Pusat Islam Nusantara lainnya menjadi boneka bangsa pendatang, Portugis dan Belanda. Setelah itu Islam Nusantara tak pernah lagi pasang sebagai sebuah peradaban yang berkuasa.
Saat itu tatkala Belanda menembaki kita denga meriam, Turki Utsmani yang mengklaim diri sebagai Khilafah tak berdaya, tak menolong nusantara. Khilafah bukanlah jimat sakti yang tak terkalahkan. Khilafahpun hanya sbuah model, sebuah ijtihad, sebuah ikhtiyar, sebuah pilihan, sebuah strategi dari niat baik, tapi, ia bukanlah pilihan tunggal dan tidak harus diper-Tuhan-kan. Islam tak memilihnya sebagai ujung dari sebuah perjuangan. Kita sedih khilafah dikalahkan sebuah negeri. Hulagu Khan membakar Baghdad, meruntuhkan dinasti Abbasiyah. Setelah Turki Utsmani tenggelam, hingga kini peradaban Islam tak tampak keluar dari posisi surutnya.
Wali songo adalah kisah luar biasa tentang sebuah peradaban. Maulana Malik Ibrahim memulai dakwah dipesisir Jawa Timur, taksampai satu abad kemudian, Sunan Giri, Sunan Kalijogo, Sunan Bonang dan lainnya berhasil memproklamirkan berdirinya Kerajaan Demak. Demak pun berdiri kokoh. Demakpun bukanlah cerita Indonesia diawal kepmimpinan Soekarno, kisah disintegrasi dan pertarungan ideology dari dalam yang gaduj dan berdarah-darah. Demak Bintoro adalah sebuah negeri baru yang semarak. Rakyat seolah-olah homogen, tak ada teriak revolusi, tak ada separatisme yang lantang. Walisongo berhasil menciptakan sebuah masyarakat baru, kebudayaan baru, jawa baru yang tak kehilangan jiwanya meski jelas ke-Islamannya.
Maka Walisongo janganlah dicela, meskipun kita mengklaim sebagai seorang aktivis dakwah yang paling hiper aktif sekalipun, sebab walau bagaimanapun kita sesama muslim, meskipun beda generasi, semua memiliki kewajiban dakwah sesuai dengan kemampuan masing-masing, dan alangkah indahnya jika para aktifis dakwah dari lintas generasi maupun yang satu generasi tersebut, memiliki kesadaran bahwa kita semua saling melengkapi dan mengisi dalam kehidupan ini.
Harakah Islam hari ini yang hidup tak lebih berbuat dari Wlisongo, harakah yang menggebu-gebu itu belum menghasilkan apa-apa seperti yang telah diperbuat walisongo -jikalau tidak mau disebut tak menghasilkan apa-apa-. Tak melahirkan masyarakat, kebudayaan, terlebih lagi Negara. Di banyak daerah, justru menghasilkan keresahan dan peraaan saling curiga –kondisi ini bertolak belakang dengan apa yang mereka lagukan-. Yang lantang hanya sebatas mimpi-mimpi, prasangka, cita-cita yang hari ini masih semu, tak ada kenyataan, harapan panjang yang terancam kelelahan dan keputusasaan.
Yang mencela Walisongo sebagian telah putus asa, meledakkan diri dan bermimpi menjadi pengantin. Kita semestinya percaya, yang putus asa, tak disambut bidadari surga dengan segera, dia harus membayar dosa putus asa, nyawa-nyawa tak berdosa, mungkin dineraka. Sebab bila kita percaya bahwa imam samudra kini telah bermesraan dngan bidadari surga yang genit itu, maka kita yang meyakininya adalah umat yang se…..tiiiiit (sensor).
(adapted from Suara Santri -IPNU Karanganyar)
Bersambung……!!!!
Rabu, 07 Oktober 2009
Jiwa Pendekar
krisis yang mendera bangsa ini, kiranya telah melalap ribuan kekayaan nilai-nilai luhur bangsa, termasuk didalamnya sifat-sifat mulia yang dulu menjadi sanjungan atau pethingan mayoroitas anggota masyarakat yang mengaku bangsa Indonesia.
Krisis Jiwa Pendekar...
jiwa pendekar, yaitu jiwa ksatria yang berani menepati janji meski pahit akan dirasa, berani mengakui kesalahan meski harus disiksa, berani mati jika membela kebenaran, berani mengakui keunggulan lawan, berani mengakui kekalahan, tidak sombong jika menang, tidak putus asa jika gagal dan lain-lain.
jiwa rakus pengecut cemen munafik dan ribuan jiwa2 tak terpuji lain telah merasuk dalam sanubari bangsa ini, dan krisis itu terus mendera, degradasi moral tak terbantah lagi. hanya segelintir kelompok saja yang masih bertahan mempertahankan nila-nilai itu. dan tragisnya orang ata kelompok seperti mereka justru tidak populer dalam masyarakat, bahkan lebih tragis lagi mereka banyak yang dituding kolot, pembangkang teroris, orang malah dan sebutan-sebutan lain yang lebih keji.
namu n jiwa pendekar tetaplah jiwa pendekar, mereka yang memiliki jiwa seperti itu tentu akan terus menampilkan dan mengutamakan jiwa-jiwa itu dalam kehidupannya.
yach... sekali lagi jiwa pendekar... jikalau pemerintah indonesia menerapkan dan menanamkan jiwa itu kepada generasinya tentu kehormatan bangsa ini akan terus terjaga hingga akhir masa....
bismillah.... semoga Alloh berkenan menjadikan bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang memilki kehormatan sebagaimana layaknya seorang pendekar sekalipun dalam keadaan seperti apapun.
Krisis Jiwa Pendekar...
jiwa pendekar, yaitu jiwa ksatria yang berani menepati janji meski pahit akan dirasa, berani mengakui kesalahan meski harus disiksa, berani mati jika membela kebenaran, berani mengakui keunggulan lawan, berani mengakui kekalahan, tidak sombong jika menang, tidak putus asa jika gagal dan lain-lain.
jiwa rakus pengecut cemen munafik dan ribuan jiwa2 tak terpuji lain telah merasuk dalam sanubari bangsa ini, dan krisis itu terus mendera, degradasi moral tak terbantah lagi. hanya segelintir kelompok saja yang masih bertahan mempertahankan nila-nilai itu. dan tragisnya orang ata kelompok seperti mereka justru tidak populer dalam masyarakat, bahkan lebih tragis lagi mereka banyak yang dituding kolot, pembangkang teroris, orang malah dan sebutan-sebutan lain yang lebih keji.
namu n jiwa pendekar tetaplah jiwa pendekar, mereka yang memiliki jiwa seperti itu tentu akan terus menampilkan dan mengutamakan jiwa-jiwa itu dalam kehidupannya.
yach... sekali lagi jiwa pendekar... jikalau pemerintah indonesia menerapkan dan menanamkan jiwa itu kepada generasinya tentu kehormatan bangsa ini akan terus terjaga hingga akhir masa....
bismillah.... semoga Alloh berkenan menjadikan bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang memilki kehormatan sebagaimana layaknya seorang pendekar sekalipun dalam keadaan seperti apapun.
Minggu, 04 Oktober 2009
Gasmi
Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia
ingat sepuluh tahun yang lalu, ketika masih kelas satu SMP, jiwa brutal, jiwa nakal, jiwa celelekan mulai nampak, bahkan sudah mulai real dalam perbuatanku. kemudian jiwa nakal dan kemaki itu terus berkembang hingga akhirnya kuputuskan untuk belajar beladiri supaya kemakiku sumbut dengan kemampuanku khususnya dibidang pergelutan alias perkelahian.
pada suatu sore ketika aku sedang menggembalakan kambing, datang seorang temen atau lebih tepatnya kakak tingkat saya waktu SD, karena memang dia beberapa tahun lebih tua dari aku, Kang Misdi gendon namanya. Kang Misdi tadi mendekati aku dan tak berapa lama kami terlibat obrolan yang seru, hingga akhirnya mengerucut kepada hobi pergelutanku. Kang Misdi menawari aku untuk ikut gabung dalam latihan silat yang dia kelola, Gasmi nama pencak silat itu. sebenarnya aku masih terheran-heran, Gasm,i itu pencak silat macam apa, wong selama ini aku belum pernah dengar namanya, apalagi pesilat-pesilatnya. dan akhir kata aku gabung dengan latihan itu.
minggu demi minggu berlalu, tak terasa sudah berbulan bulan aku latihan, bakat kelahiku semakin kelihatan, tantangan demi tantangan, perkelahian demi perkelahian ku hadapi dan semakin memantabkanku bahwa diriku seorang pendekar. dan jiwa bandel dan sok itu terus berkembang hingga akhirnya sampai pada penghujung latihan fisik, kami (aku dan teman-teman satu latihan) ada ujian di Ponpes al-Bukhori tulung sampung Ponorogo. disana kami dimbing langsung oleh al-mukharom Kyai Haji Agus Maksum Jauhari. kami diwejang banyak hal, kadang-kadang kami dimarahi dan dipojokan atas kebebalan kami, kami terus diwejang sebagai seorang calon pendekar Gasmi, dan anehnya tidak terasa banyak nilai-nilai agama yang masuk kedalam sanubari kami, meski kemasanya wejangan tentang kependekaran.
Lima buah ijazah atau amalan yang diberikan kepada kami sebagai awalan untuk mengolah tenaga dalam (tenaga non fisik). ada puasa, ada wirid, ada pantangan, ada Sholat dan do'a-do'a. singkatnya sepulang dari sana (tempat ujian) kami sangat sumringah dan berseri-seri karena mendapat banyak ilmu yang kami yakini kelak kemudian hari setelah menjalani ritual-ritual yang telah diberikan kepada kami, kami akan menjadi orang yang sakti.
sekian waktu kami menjalani berbagai laku (wiridan), terus dan terus hingga itu menjadi kebiasaan kami, yang semula kami tidak sholat kemudian mau sholat, yang semula tidak puasa kemudian puasa, yang semula suka miras berhenti minum miras dll, yang kesemuanya mengerucut untuk mendapatkan keslamatan dan kesaktian. hingga bertahun-tahun itu menjadi kebiasaan kami meski beberapa teman kami ada yang methol atau putus dari kebiasaan itu. anehnya kebiasaan itu menjadi keasyikan tersendiri bagi kami, kebiasaan itu membawa sebuah ketenangan dan kemantaban dan kadang kadang kami juga merasakan adanya peristiwa-peristiwa aneh yang diluar nalar, misalnya kami bisa selamat dari bahaya yang logikanya kami tidak dapat menghindarinya.
terus dan terus amalan kami jalankan dan akhirnya ada kesadaran dan pemahaman bahwa semua sumber kekuatan datangnya dari Alloh, semua kemenangan-kemenangan dalam perkelahian dijalanan maupun dipanggung itu juga atas izin alloh dan kami semakin yakin akan hal itu, hingga akhirnya sekarang setelah sepuluh tahun berkecimpung dalam dunia silat dan kadang-kadang masih suka kelahi, kami merasakan semakin membutuhkan ibadah dan belajar agama yang dulu waktu kecil ga sempat kami pelajari. andaikan kami ga belajar silat di Gasmi mungkin kami ga mengenal indahnya Islam, Agungnya Islam, dan Bahagianya hidup dalam naungan Islam yang kesemuanya itu kami peroleh secara perlahan dan bahkan tidak kami sadari bahwa selama belajar silat kami digiring menuju Islam....Alhamdulillah kami sempat mengenal gasmi Pagar Nusa... terima kasih kang Misdi dan pelatih-pelatih lain, terima kasih Mbah Mukhrim abdulloh dan jajaran pengurus cabang Ponorogo, terima kasih Gus Maksum...... melalui doa dan besutan panjenengan kami diberi kesempatan Alloh untuk bahagia dalam Islam
Langganan:
Postingan (Atom)